Perkembangan media di Indonesia sungguh mengagumkan terutama sejak reformasi tahun 1998. Momentum reformasi telah mengubah lanskap media di Indonesia, dimana ketertutupan masa Orde Baru berganti dengan demokratisasi di ranah media. Pada dekade yang sama dengan reformasi, dekade 1990-an, terjadi perubahan besar di bidang teknologi. Teknologi yang awalnya bertumpu pada teknologi analog berpindah pada teknologi digital. Perubahan teknologi ini secara cepat mempengaruhi kerja media di Indonesia, termasuk dalam aspek manajemen media.
Keterbukaan
demokrasi pasca reformasi dan perubahan teknologi di satu sisi memberikan
implikasi positif bagi media massa, namun di sisi lain justru melahirkan
ancaman bagi media. Media yang tidak siap pada perubahan di dua ranah ini bisa
tersingkir dari persaingan. Media yang memiliki modal besar akan menguasai atau
mematikan media-media dengan modal yang lebih kecil. Seperti halnya media-media
televisi yang ada di Jakarta yang notabenenya memiliki kualitas gambar yang
bagus dan didukung oleh teknologi-teknologi canggih masuk ke daerah-daerah dan
menjadi penguasa media televisi di Indonesia sehingga televisi-televisi lokal
harus berjuang untuk tetap berdiri dan bertahan dari derasnya arus persaingan.
Jika
kita amati secara mendalam, para pemilik media televisi di Indonesia rata-rata
berasal dari kalangan pengusaha. Ini artinya media televisi dijadikan sebagai
lahan bisnis yang dimanfaatkan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Penempatan
media sebagai lahan bisnis tentu sangat tidak tepat karena pada dasarnya media
merupakan milik publik dan bukan milik perseorangan. Namun pengusaha-pengusaha
yang bermodal besar akan terus melebarkan sayapnya sehingga tercipta suatu
media televisi yang besar pula. Konglomerasi media pun terjadi dimana
perusahaan-perusahaan media bergabung menjadi satu dan membawahi banyak media.
Orang yang memiliki saham paling besar pun akan menjadi pemimpin di media
tersebut. Contohnya yaitu RCTI, GlobalTV, serta MNC TV yang tergabung dalam
perusahaan MNC Group milik Hary Tanoesudibyo. Bersatunya media-media televisi
ke dalam satu perusahaan menimbulkan kapitalisme media. Dari banyaknya media
televisi di Indonesia, hanya ada beberapa nama saja yang terkenal sebagai
pemilik dari media tersebut.
Konglomerasi
media di Indonesia terutama pada televisi, menyebabkan satu orang dapat
menguasai beberapa stasiun televisi. Dan kembali lagi ke konsep awal bahwa yang
bermodal besar yang berkuasa. Pemerintah seharusnya turun tangan dan tidak
tinggal diam dalam mengatur konglomerasi media. Mestinya ada peraturan yang
membatasi kepemilikan media, sehingga satu orang hanya fokus kepada satu media.
Keberpihakan
media kepada tokoh-tokoh tertentu menjadikan sebuah tanda tanya besar mengenai
independensi media. Media yang seharusnya netral justru secara terang-terangan
menunjukkan keberpihakannya kepada orang-orang yang dekat dengan media
tersebut. Media seakan takluk oleh intervensi dari para pemiliknya yang kental
akan kepentingan pribadi baik di bidang ekonomi, maupun politik. Misalnya saja
TVOne dan Antv milik Bakrie Group yang mana pada Pemilu lalu tak henti-hentinya
memberitakan tentang Prabowo-Hatta. Hal ini dapat terjadi karena pemilik saham
dari TVOne dan Antv yaitu Aburizal Bakrie memberi dukungan penuh kepada
pasangan tersebut. Begitupula dengan MetroTV yang terus memberitakan berita
positif mengenai pasangan Jokowi-JK, karena dukungan dari Surya Paloh pemilik
dari Media Group. Independensi media tentu dipertanyakan dalam hal ini
mengingat independensi berarti tidak memihak. Namun seiring dengan berjalannya
waktu, independensi media mulai memudar. Satu per satu media mulai menunjukkan
keberpihakannya kepada orang-orang tertentu yang syarat dengan unsur politik
terutama jika pemiliknya merupakan tokoh politik. Media televisi justru banyak
dijadikan sebagai media mempromosikan diri dengan pencitraan-pencitraan yang
dibuat-buat terutama pada masa Pemilu. Tentu hal itu dapat memudarkan nilai
media massa sebagai pilar ke-4 demokrasi karena sangat bertentangan dengan
etika dan fungsi media yang seharusnya, dimana media yang benar ialah media
yang mampu menyajikan informasi berdasarkan fakta yang disajikan secara jujur,
akurat, dan netral.
Publik seakan bingung
dengan apa yang diinformasikan oleh berbagai stasiun televisi. Dimana salah
satu televisi memberitakan hal-hal yang positif tentang seorang tokoh namun di
televisi lain justru memberitakan hal-hal yang negatif tentang tokoh tersebut.
Informasi-informasi yang terkesan dibuat-buat membuat masyarakat kehilangan
kepercayaan terhadap media. Inilah akibatnya jika media dipegang oleh para
politisi. Semua informasi menjadi tidak berimbang dan hanya mementingkan
kepentingan pribadi. Dalam hal ini, publik seperti dinomorduakan. Padahal
publik memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang mereka inginkan.
Seperti kebutuhan akan informasi olahraga, kuliner, edukasi, hiburan dan
lain-lain. Namun pada masa pemilu, televisi seolah disulap menjadi lahan
kampanye. Iklan pencitraan bertaburan hampir setiap waktu dari mulai pagi,
siang, sore, hingga malam. Publik tentu dibuat jenuh dengan siklus pemberitaan
yang itu-itu saja.
Konglomerasi
media menyebabkan ketidakseimbangan penyampaian informasi oleh media.
Media-media yang tergabung dalam satu perusahaan cenderung memiliki informasi
yang sama dan seragam. Sejatinya, informasi yang disampaikan oleh media kepada
publik harus terbuka, lengkap, utuh, benar, dan objektif. Hak atas informasi
publik juga telah diatur dalam konstitusi. Dengan adanya konglomerasi media
yang tidak sehat, akan mengancam hak-hak publik untuk mendapatkan informasi.
Dapat
disimpulkan bahwa konglomerasi media, independensi media, dan hak publik
terhadap informasi yang disajikan sangat berkaitan erat. Konglomerasi media
yang tidak sehat akan menimbulkan rusaknya nilai independensi media, dan hal
tersebut sangat berdampak bagi informasi yang disajikan kepada publik dimana
hak publik terhadap informasi yang aktual dan berimbang menjadi terabaikan dan
terkikis oleh kepentingan-kepentingan pribadi semata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar