Total Tayangan Halaman

Jumat, 20 November 2015

Konglomerasi Media, Independensi Media, dan Hak Publik Terhadap Informasi Yang Disajikan Oleh Media Televisi



         Perkembangan media di Indonesia sungguh mengagumkan terutama sejak reformasi tahun 1998. Momentum reformasi telah mengubah lanskap media di Indonesia, dimana ketertutupan masa Orde Baru berganti dengan demokratisasi di ranah media. Pada dekade yang sama dengan reformasi, dekade 1990-an, terjadi perubahan besar di bidang teknologi. Teknologi yang awalnya bertumpu pada teknologi analog berpindah pada teknologi digital. Perubahan teknologi ini secara cepat mempengaruhi kerja media di Indonesia, termasuk dalam aspek manajemen media.
Keterbukaan demokrasi pasca reformasi dan perubahan teknologi di satu sisi memberikan implikasi positif bagi media massa, namun di sisi lain justru melahirkan ancaman bagi media. Media yang tidak siap pada perubahan di dua ranah ini bisa tersingkir dari persaingan. Media yang memiliki modal besar akan menguasai atau mematikan media-media dengan modal yang lebih kecil. Seperti halnya media-media televisi yang ada di Jakarta yang notabenenya memiliki kualitas gambar yang bagus dan didukung oleh teknologi-teknologi canggih masuk ke daerah-daerah dan menjadi penguasa media televisi di Indonesia sehingga televisi-televisi lokal harus berjuang untuk tetap berdiri dan bertahan dari derasnya arus persaingan.
Jika kita amati secara mendalam, para pemilik media televisi di Indonesia rata-rata berasal dari kalangan pengusaha. Ini artinya media televisi dijadikan sebagai lahan bisnis yang dimanfaatkan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Penempatan media sebagai lahan bisnis tentu sangat tidak tepat karena pada dasarnya media merupakan milik publik dan bukan milik perseorangan. Namun pengusaha-pengusaha yang bermodal besar akan terus melebarkan sayapnya sehingga tercipta suatu media televisi yang besar pula. Konglomerasi media pun terjadi dimana perusahaan-perusahaan media bergabung menjadi satu dan membawahi banyak media. Orang yang memiliki saham paling besar pun akan menjadi pemimpin di media tersebut. Contohnya yaitu RCTI, GlobalTV, serta MNC TV yang tergabung dalam perusahaan MNC Group milik Hary Tanoesudibyo. Bersatunya media-media televisi ke dalam satu perusahaan menimbulkan kapitalisme media. Dari banyaknya media televisi di Indonesia, hanya ada beberapa nama saja yang terkenal sebagai pemilik dari media tersebut.
Konglomerasi media di Indonesia terutama pada televisi, menyebabkan satu orang dapat menguasai beberapa stasiun televisi. Dan kembali lagi ke konsep awal bahwa yang bermodal besar yang berkuasa. Pemerintah seharusnya turun tangan dan tidak tinggal diam dalam mengatur konglomerasi media. Mestinya ada peraturan yang membatasi kepemilikan media, sehingga satu orang hanya fokus kepada satu media.
Keberpihakan media kepada tokoh-tokoh tertentu menjadikan sebuah tanda tanya besar mengenai independensi media. Media yang seharusnya netral justru secara terang-terangan menunjukkan keberpihakannya kepada orang-orang yang dekat dengan media tersebut. Media seakan takluk oleh intervensi dari para pemiliknya yang kental akan kepentingan pribadi baik di bidang ekonomi, maupun politik. Misalnya saja TVOne dan Antv milik Bakrie Group yang mana pada Pemilu lalu tak henti-hentinya memberitakan tentang Prabowo-Hatta. Hal ini dapat terjadi karena pemilik saham dari TVOne dan Antv yaitu Aburizal Bakrie memberi dukungan penuh kepada pasangan tersebut. Begitupula dengan MetroTV yang terus memberitakan berita positif mengenai pasangan Jokowi-JK, karena dukungan dari Surya Paloh pemilik dari Media Group. Independensi media tentu dipertanyakan dalam hal ini mengingat independensi berarti tidak memihak. Namun seiring dengan berjalannya waktu, independensi media mulai memudar. Satu per satu media mulai menunjukkan keberpihakannya kepada orang-orang tertentu yang syarat dengan unsur politik terutama jika pemiliknya merupakan tokoh politik. Media televisi justru banyak dijadikan sebagai media mempromosikan diri dengan pencitraan-pencitraan yang dibuat-buat terutama pada masa Pemilu. Tentu hal itu dapat memudarkan nilai media massa sebagai pilar ke-4 demokrasi karena sangat bertentangan dengan etika dan fungsi media yang seharusnya, dimana media yang benar ialah media yang mampu menyajikan informasi berdasarkan fakta yang disajikan secara jujur, akurat, dan netral.
Publik seakan bingung dengan apa yang diinformasikan oleh berbagai stasiun televisi. Dimana salah satu televisi memberitakan hal-hal yang positif tentang seorang tokoh namun di televisi lain justru memberitakan hal-hal yang negatif tentang tokoh tersebut. Informasi-informasi yang terkesan dibuat-buat membuat masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap media. Inilah akibatnya jika media dipegang oleh para politisi. Semua informasi menjadi tidak berimbang dan hanya mementingkan kepentingan pribadi. Dalam hal ini, publik seperti dinomorduakan. Padahal publik memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang mereka inginkan. Seperti kebutuhan akan informasi olahraga, kuliner, edukasi, hiburan dan lain-lain. Namun pada masa pemilu, televisi seolah disulap menjadi lahan kampanye. Iklan pencitraan bertaburan hampir setiap waktu dari mulai pagi, siang, sore, hingga malam. Publik tentu dibuat jenuh dengan siklus pemberitaan yang itu-itu saja.
Konglomerasi media menyebabkan ketidakseimbangan penyampaian informasi oleh media. Media-media yang tergabung dalam satu perusahaan cenderung memiliki informasi yang sama dan seragam. Sejatinya, informasi yang disampaikan oleh media kepada publik harus terbuka, lengkap, utuh, benar, dan objektif. Hak atas informasi publik juga telah diatur dalam konstitusi. Dengan adanya konglomerasi media yang tidak sehat, akan mengancam hak-hak publik untuk mendapatkan informasi.
Dapat disimpulkan bahwa konglomerasi media, independensi media, dan hak publik terhadap informasi yang disajikan sangat berkaitan erat. Konglomerasi media yang tidak sehat akan menimbulkan rusaknya nilai independensi media, dan hal tersebut sangat berdampak bagi informasi yang disajikan kepada publik dimana hak publik terhadap informasi yang aktual dan berimbang menjadi terabaikan dan terkikis oleh kepentingan-kepentingan pribadi semata.